Home | Sitemap | Login

   

Peatland News

Title: Menjaga Gambut, Mencegah Kebakaran
Date: 16-Nov-2014
Category: Indonesia
Source/Author: Agung Wredho, Koran Jakarta
Description: Dengan menjaga batasan muka air 0,4 meter di atas permukaan ekosistem gambut, diharapkan akan menyeimbangkan fungsi pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan. Benarkah demikian?

Foto: istimewa

Sore itu pemandangan langit Bumi Lancang Kuning masih tampak kelabu dari balik kaca depan mobil rental. “Itu (warna kelabu) sisa-sisa kabut asap,” celetuk Pak Sopir yang mengantar Koran Jakarta, dari Bandara Sultan Syarif Kasim 2 menuju jantung Kota Pekanbaru, Riau, Minggu (9/10). Ya, sisa-sisa kabut asap itu merupakan dampak kebakaran hutan dan lahan gambut di sejumlah Kabupaten Riau.

Singkat cerita, untuk menelusuri asal muasal kabut asap yang mengepul dalam beberapa bulan terakhir di Provinsi Riau, keesokan harinya,Koran Jakarta menemui peneliti Bidang Planologi Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Prayoto, di sebuah hotel.

Sejauh ini, dia telah mengamati kebakaran hutan dan lahan gambut tahun ini (2014) dengan memanfaatkan satelit MODIS dan melakukan overlay terhadap Peta Tematik Digital (berbasis data batas administrasi, kawasan hutan, perizinan kehutanan, hak guna usaha, sebaran gambut, dan citra landsat liputan 2013).

Prayoto menyimpulkan asal muasal kabut asap secara umum dari areal perizinan untuk perkebunan dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) yang dirambah masyarakat. Luas areal perizinan yang dirambah masyarakat bervariasi, ada yang seluruh areal dirambah, tetapi ada juga areal hanya sebagian. “Areal IUPHHK-HTI yang tidak ditanam menjadi areal perambahan yang diperjualbelikan masyarakat,” kata dia.

Adapun data perizinan untuk areal perkebunan tercatat sebanyak 163 unit seluas 1.767.862 hektare (ha) dan luas Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan adalah seluas 1.107.737 ha. Sementara itu, luas IUPHHK-HTI di Riau berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Riau sebanyak 61 unit seluas 1.697.897 ha, namun realisasi tanaman baru mencapai 975.000 ha.

Titik Api

Yang pasti, pada saat terbakar, bukan hanya vegetasi di atas lahan gambut, melainkan lahannya juga ikut terbakar. Bak api dalam sekam, api yang berada di bawah permukaan lahan bisa bertahan hingga berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. “Pembakaran yang tak sempurna itulah yang menghasilkan emisi karbon tinggi,” ujar Prayoto.

Dari pengamatan Prayoto, titik api (panas) untuk izin pelepasan perkebunan sebesar 2.345 kejadian (17,14 persen) dan pencadangan perkebunan sebesar 2.741 kejadian (20,04 persen). Sementara itu, titik panas untuk IUPHHK-HTI sebesar 5.664 kejadian (41,26 persen). Dengan demikian, areal berizin menyumbang 10.730 (78,44 persen) kejadian titik panas.

“Titik-titik api itu terkonsentrasi di pesisir timur Provinsi Riau. Sebanyak 92,43 persen titik panas terjadi di lahan gambut, yang sebagian besar berasal dari lahan gambut dalam,” tandas Prayoto.

Sementara itu, berdasarkan perhitungan luas wilayah administasi, dari 10 kabupaten dan dua kota di Provinsi Riau, titik api terpadat di Kabupaten Kepulauan Meranti. Kejadian tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya (2013), saat itu titik api berada di Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hilir. 

Runyamnya, sepanjang tahun ini, penanganan kebakaran di sejumlah titik panas di Provinsi Riau masih berfokus pada pemadaman, bukan menanggulangi akar permasalahan yang ditengarai karena pembukaan kanal-kanal atau saluran air di lahan perkebunan maupun kehutanan. “Pembukaan kanal ini membahayakan kondisi hidrologi gambut yang notabene terdiri atas 90 persen air dan 10 persen sampah organik,” ujar Prayoto.

Dampak Kanalisasi

Untuk mengetahui dampak kanalisasi lahan gambut itu, Koran Jakarta bertanya kepada Direktur Wetlands International Indonesia, Nyoman Suryadiputra, pekan lalu. Dia menjelaskan kanalisasi bertujuan untuk menata air di perkebunan dan kehutanan agar tidak berlebihan atau kekurangan. “Untuk satu konsesi (kurang lebih 5000 hektare) dibuat kanal sepanjang 150 kilometer,” kata dia.

Kanalisasi yang tidak memperhitungkan dampak lingkungan, menurut Nyoman, rentan menyebabkan lahan gambut menjadi kering sehingga sulit menyerap air kembali. Gambut yang mengering itu memiliki karakteristik berbobot ringan, strukturnya lepas-lepas seperti pasir, sulit ditanami tumbuhan, dan mudah terbakar.

Nah, gambut yang telah terbakar kemudian akan menimbulkan berbagai permasalahan lokal, nasional,regional, maupun internasional. Kondisi ini tidak hanya menyebabkan kerusakan bio-fisik gambut, tapi juga menimbulkan gangguan kesehatan, kerugian ekonomi, serta emisi gas rumah kaca yang sangat besar dan berdampak terhadap pemanasan global hingga perubahan iklim.

Melihat permasalahan tersebut, pemerintah Indonesia sebenarnya tidak diam diri. Untuk mengendalikan kerusakan ekosistem gambut, pemerintah telah melakukan moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Selain itu, pemerintah, September lalu, telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Tujuan penerbitan peraturan tersebut, menurut Deputi bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Arief Yuwono, untuk menyeimbangkan fungsi ekosistem gambut dalam menunjang usaha pemanfaatan secara berkelanjutan.

Muka Air

Namun, beberapa pasal dalam PP tersebut menimbulkan polemik, khususnya bagi pengusaha yang memiliki konsesi di lahan gambut. Dalam Pasal 23 Ayat 3 disebutkan bahwa ekosistem gambut dengan fungsi budi daya dinyatakan rusak apabila muka air di lahan gambut lebih dari 0,4 (nol koma empat) meter di bawah permukaan gambut.

“Kami memahami bahwa penerbitan PP itu masih memunculkan kekhawatiran bagi sebagian kelompok yang akan terkena dampak atas diterapkannya peraturan,” kata Arief kepada Koran Jakarta melalui surat elektronik, pekan lalu.

Guna mengetahui lebih rinci tentang PP tersebut, Koran Jakarta mengonfirmasi Kepala bidang Rawa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Aep Purnama. Menurut dia, batasan 0,4 meter itu sudah menjadi kesepakatan para ahli untuk menekan laju kerusakan lingkungan di lahan gambut.

Batasan tersebut lebih ketat daripada peraturan sebelumnya (tahun 2006) yang menentukan batasan muka air di lahan gambut satu meter. “Permasalahannya, batas 0,4 meter diukur dari mana dan bagaimana? Untuk itu, kami masih menyusun panduan dengan berbagai opsi,” ujar Aep saat ditemui di sebuah hotel di Pekanbaru.

Menurut Aep, perdebatan tempat dan bagaimana cara mengukur batas muka air 0,4 meter itu karena kontur lahan gambut dalam suatu kompartemen bisa berbeda-beda. Dengan demikian, pengukuran tidak bisa dilakukan hanya menggunakan sampel beberapa titik di suatu wilayah.

Evaporasi

Bukan hanya cara menentukan sampel dan pengukuran muka air di lahan gambut yang mengundang perdebatan, Group Director Research, Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), Mukesh Sharma, menyatakan untuk mempertahankan muka air di lahan gambut 0,4 meter bukan perkara gampang karena adanya pengaruh evaporasi.

“Setiap hari terjadi evaporasi di lahan gambut sekitar 80 ton per hektare. Lalu, bagaimana cara mempertahankan muka air 0,4 meter pada musim kering,” kata dia ditemui di Pekanbaru, Riau, pekan lalu. Karena itu, menurutnya, penetapan batas 0,4 meter bukan solusi untuk mencegah kerusakan lahan gambut, terlebih untuk mengurangi dampak kabut asap karena kebakaran.

Pendapat Mukesh itu diperkuat General Manager Restorasi Ekosistem Riau (RER), Anthony Greer. Menurut Greer, batasan muka air di lahan gambut seyogianya menyesuaikan jenis tanaman budi daya. Dia mencontohkan tanaman akasia tidak bisa tumbuh optimal dengan batasan 0,4 meter di bawah permukaan gambut. “Titik optimum pertumbuhan tanaman akasia rata-rata 0,6 meter, dari yang paling baik 0,8 meter. Jadi, kalau bisa turun hingga 0,2 meter, baik untuk tanaman akasia,” ujar Greer.

Menurut dia, tanpa adanya sentuhan teknologi batasan 0,4 meter akan menyebabkan tanaman akasia pada usia 3–4 tahun akan roboh karena sistem akar tunggal yang terendam air di lahan gambut. Oleh sebab itu, kalaupun ingin mengejar target PP tersebut, perusahaan harus mengeluarkan biaya besar untuk investasi pembangunan dam (drain pile) dan pompa air.

Pembangunan dam ini berfungsi untuk menahan air di kawasan gambut agar tidak merembes ke bawah, sedangkan pompa air untuk menyalurkannya kembali ke bagian atas. “Tapi, cara ini sulit dan butuh biaya mahal,” ungkap Greer. Dengan kata lain, perusahaan akan sulit bisa mencapai target yang telah ditetapkan PP tersebut mengingat mereka masih harus mengucurkan investasi lagi.

Multi-efek lebih jauh, tutup Greer, perusahaan bisa gulung tikar sehingga penerimaan pajak pemerintah akan berkurang. Benarkah demikian? agung wredho

 



[ Back ] [ Print Friendly ]