Home | Sitemap | Login

   

Peatland News

Title: Tanpa Audit Lingkungan, Lahan Akan Tenggelam
Date: 16-Nov-2014
Category: Indonesia
Source/Author: Agong Wredho, Koran Jakarta
Description: Apabila paras muka air laut diprediksi terus naik akibat pemanasan global, sedangkan tanah di pesisi pantai ambles karena kanalisasi lahan gambut, siapa yang bertanggung jawab?

Indonesia memiliki lahan gambut terbesar di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika. Lahan gambut Indonesia juga merupakan lahan gambut tropika terluas di dunia yang meliputi sekitar 50 persen dari total lahan gambut tropika dunia.

Menurut Wetlands International–Indonesia lahan gambut tersebut memiliki peranan hidrologis karena merupakan cadangan (reservoir) air dengan kapasitas sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8-0,9 meter kubik per meter kubuk(m3/m3) gambut.

 “Peranan ekosistem gambut tersebut memungkinkan untuk mengatur debit air pada musim hujan dan musim kemarau,” ucap Direktur Wetlands International Indonesia, Nyoman Suryadiputra, ditemui di Pekanbaru, Provinsi Riau, pekan lalu.

 Namun, kondisi gambut di Indonesia semakin memprihatinkan sejak maraknya penebangan vegetasi dan pengurasan air gambut secara berlebih (over drainase) melalui kanalisasi atau pembangunan saluran-saluran yang dibangun di atasnya.

 Kanalisasi untuk perkebunan dan kehutanan dapat menyebabkan kandungan air di wilayah ekosistem gambut menurun secara berlebihan. “Setelah dua tahun membuka lahan gambut, tanah bisa ambles hingga dua meter. Kemudian, gambut akan mengempis rata-rata lima sentimeter per tahun,” ungkap Nyoman.

 Celakanya, menurut dia, lahan gambut di Indonesia (Sumatra, Kalimantan, dan Papua) pada umumnya terletak di dataran rendah dekat pantai ( kurang dari 80 kilometer dari pantai) dan berada pada elevasi kurang dari 20 meter dari permukaan laut. Sementara itu, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan laju naiknya paras muka air laut karena pemanasan global sekitar 3 milimeter per tahun.

 Sehubungan dengan hal itu, lahan gambut di pesisir pantai akan sangat rentan terhadap genangan akibat pengaruh naiknya paras permukaan air laut. “Maka tidak menutup kemungkinan wilayah daratan di sekitar pesisir pantai Indonesia akan semakin menciut,” tandas Nyoman. Kondisi tergenangnya lahan gambut pesisir itu sudah mulai tampak di lahan gambut; Sumatra Barat, Jambi, Riau, dan Kalimantan Tengah.

 Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap degradasi gambut tersebut?
 Restorasi                 

 Menurut Nyoman, beberapa perusahaaan kelapa sawit asing di Riau dan Aceh (Sumatra), yang hamparan perkebunannya sudah mulai bermasalah, kini lahan usahanya dilepas untuk dijual kepada pihak lain. “Yang menyedihkan, perkebunan bermasalah itu dibeli orang lokal yang tidak mengetahui permasalahan amblesnya lahan gambut di wilayah pesisir pantai,” ujar dia.

 Karena itu, saran Nyoman, pemerintah perlu melakukan audit lingkungan secara rutin dan komprehensif terhadap kondisi fisik lahan gambut yang telah terlanjur dijadikan lahan perkebunan sawit dan akasia di lahan gambut. Di antara parameter audit meliputi luas, frekuensi, dan tingginya genangan air di lahan konsesi perkebunan sawit dan/atau akasia di gambut.

 Indikator lain yang lebih mudah untuk audit lingkungan, lanjut Nyoman, di antaranya melihat kondisi vegetasi yang ditanam di atasnya, apakah banyak yang roboh atau doyong. Pasalnya, vegetasi tidak dapat tumbuh di lingkungan yang tata kelola airnya buruk.

 “Apabila lahan gambut sering tergenang dan berlangsung cukup lama serta sulit di drainase secara alami, otomatis akan terjadi penurunan produksi,” kata Nyoman.

 Untuk itu, pemerintah harus segera mewajibkan para pelaku usaha untuk merestorasi lahan yang telah rusak. Adapun untuk mengantisipasi kemungkinan kebangkrutan perusahaan, pemerintah dapat mewajibkan pengusaha menyisihkan bagian keuntungannya untuk merehabilitasi lahan gambut yang sudah rusak. agung wredho

 



[ Back ] [ Print Friendly ]